BELAJAR MUSYAWARAH MUFAKAT DALAM MEMILIH PEMIMPIN DARI MUHAMMADIYAH*.
Oleh : M.Hatta Taliwang
*Institut Soekarno Hatta*
Banyak orang mengeritik sistem pemilihan Presiden dengan sistem perwakilan/ musyawarah mufakat ala UUD 45 Asli dg mengatakan kurang demokratis dll. Sehingga mengubah UUD45 dengan Sistem Pilpres Langsung.
Lucunya yg mengeritik itu orang dari partai atau ormas yg berpuluh tahun telah mempraktekkan sistem perwakilan/ musyawarah mufakat.
Coba lihat partai mana yg mengajak seluruh anggotanya datang ke bilik suara memilih Ketumnya ? Ormas mana yg mengajak semua pemegang kartu anggotanya datang ke tempat pemungutan suara ? Kecuali Ormas atau Partai tingkat desa mungkin.
Sekarang Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung. Katanya demi tegaknya demokrasi.
Kemarin kami sdh analisis bahwa Pilkada yg diikuti lebih dari 2 calon kemungkinan besar legitimasinya rendah. Karena pemenangnya paling banter didukung 20 sd 30 porsen penduduk atau pemilih. Hasilnya, terpilih Pemimpin, wallahu alam akan lebih baik atau malah kurang bermutu.
Belum biaya besar yg dikeluarkan, kegaduhan dan mungkin kekacauan yg ditimbulkan, rusaknya hubungan persaudaraan dan kekeluargaan dll dampaknya.
Sehingga kami usulkan kembali ke sistem perwakilan/ musyawarah mufakat aja. Toh hasil pilkada langsung hanya prosedurnya yg legal tapi hasilnya tidak legitimate juga. Memimpin sebuah daerah hanya didukung seperempat penduduk/ pemilih ? Mengharukan.
Mari kita belajar memilih Pemimpin dg Perwakilan/ Musyawarah Mufakat ala Muhammdiyah misalnya. Saya ambil data pemilihan tahun 2015 yang lalu.
Begini tata cara pemilihan Ketum di salah satu ormas terbesar Indonesia ini.
Panitia pemilihan menyebar formulir ke sejumlah tokoh Muhammadiyah. Formulir itu menanyakan kesediaan seorang tokoh
menjadi ketum PP. Panitia pemilihan menyebar 108 formulir. Dari jumlah tersebut, hanya ada 96 formulir yang dikembalikan oleh tokoh-tokoh yang menerima.
Dari 96 formulir yang kembali, sebanyak 83 menyatakan bersedia dan 13 calon menyatakan tidak bersedia. Ada yg bersedia satu tapi wafat.
Selanjutnya, nama-nama para tokoh yang bersedia menjadi calon ketum PP dibawa ke Sidang Tanwir .
204 Pemilik suara di Sidang Tanwir akan menyortir nama-nama tersebut menjadi tinggal 39 calon.
Mekanismenya di Tanwir setiap orang akan memilih 39 nama dari 82. Kemudian diperingkat. 39 Teratas dibawa ke Muktamar.
Di Muktamar, 2.600 pemilik suara akan memilih 13 dari 39 nama yang tersedia. Mekanismenya mirip seperti pemilihan di Sidang Tanwir, satu orang memilih 13 nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Nama-nama terpilih lalu diperingkat, 13 nama yang paling banyak dipilih akan menjadi Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan bersidang untuk memutuskan ketum PP Muhammadiyah yang baru.
Dalam sidang yang 13 orang itu suara terbanyak tidak otomatis menjadi ketua.Masih dimusyawarahkan smp terpilih Ketum yg disepakati dan disahkan di Muktamar.
Pada Muktamar 2015 lahir Ketum PP Muhammadiyah DR.H.Haedar Nashir, MSi, seorang intelektual muslim yg berkarakter baik. Tidak ada kegaduhan. Tidak ada money politics.
Lewat proses pemilihan Perwakilan/ Musyawarah mufakat itulah lahir di Muhammadiyah tokoh tokoh besar seperti *H.AR Fachruddin, Prof DR. M. Amien Rais, Prof DR. Syafii Maarif, Prof DR Din Syamsuddin.*
Apakah hasil pemilihan ala UUD 45 Asli itu yg dipraktekkan Muhammadiyah itu buruk ? Apakah mahal ? Apakah merusak silaturrahim? Apakah ada money politics ?
Jangan lupa, demokrasi itu cuma alat, bukan tujuan. Tujuan kita mencari pemimpin yg baik , jujur, peduli rakyat utk memakmurkan dan menyejahterakan rakyat bangsa dan negaranya.
Silakan direnungkan alias Mikir😊!
0 Comments: