POLITIK, PEMBERDAYAAN POLITIK, TRANSFORMASI POLITIK
Pemberdayaan merupakan sebuah gerakan perlawanan
pembangunan alternatif terhadap hegemoni developmentalisme (teori modernisasi).
Sejak tiga dekade silam, para ahli pembangunan berhaluan kritis telah
melontarkan pertanyaan besar, mengapa terjadi kemiskinan di tengah-tengah
gencarnya proyek-proyek pembangunan? Dudley Seers (1969), misalnya, menilai
pertanyaan kritis itu telah mengundang upaya serius memikirkan kembali
doktrin-doktrin pembangunan. Konon tumbuh ortodoksi yang kuat bahwa
merajalelanya kemiskinan di Dunia Ketiga disebabkan karena gagalnya model
pembangunan ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh teori modernisasi atau doktrin
developmentalisme.
Teori modernisasi lahir sebagai peristiwa penting
dunia setelah Perang Dunia Kedua.Pertama, setelah munculnya Amerika
Serikat sebagai negara adikuasa dunia. Pada tahun 1950-an Amerika Serikat
menjadi pemimpin dunia sejak pelaksanaan Marshall Plan yang
diperlukan membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia Kedua. Kedua, pada
saat yang sama terjadi perluasan komunisme di seantero jagad. Uni Soviet
memperluas pengaruh politiknya sampai di Eropa Timur dan Asia, antara lain di
Cina dan Korea. Hal ini mendorong Amerika Serikat untuk berusaha memperluas
pengaruh politiknya selain Eropa Barat, sebagai salah satu usaha membendung
penyuburan ideologi komunisme. Ketiga,lahirnya negara-negara baru
di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan wilayah koloni
negara-negara Eropa dan Amerika. Negara-negara tersebut mencari model-model
pembangunan yang bisa digunakan sebagai contoh untuk membangun ekonominya dan
mencapai kemerdekaan politiknya. Dalam situasi dunia seperti ini bisa dipahami
jika elit politik Amerika Serikat memberikan dorongan dan fasilitas bagi
ilmuwan untuk mempelajari permasalahan Dunia Ketiga. Kebijakan ini diperlukan
sebagai langkah awal untuk membantu membangun ekonomi dan kestabilan politik
Dunia Ketiga, seraya untuk menghindari kemungkinan jatuhnya negara baru tersebut
ke pangkuan Uni Soviet.
Sebelum Perang Dunia Kedua, persoalan pembangunan
negara Dunia Ketiga tidak begitu mendapat perhatian para ilmuwan Amerika
Serikat. Akan tetapi, setelah Perang Dunia Kedua, keadaan yang sebaliknya
terjadi. Dengan bantuan melimpah dari Amerika Serikat dan organisasi swasta,
satu generasi baru ilmuwan politik, ekonomi, dan para ahli sosiologi,
psikologi, antropologi, serta ahli kependudukan menghasilkan karya-karya
disertasi dan monograf tentang Dunia Ketiga. Satu aliran pemikiran
antardisiplin yang tergabung dalam ajaran modernisasi sedang terbentuk pada
tahun 1950-an tersebut. Karya kajian teori modernisasi merupakan industri yang
tumbuh segar sampai pertengahan 1960-an.
Secara epistemologis, teori modernisasi adalah
campuran antara pemikiran fungsionalisme struktural dengan pemikiran behaviorisme
kultural Parsonian. Parapendukungnya memandang bahwa masyarakat bakal berubah
secara linier, yaitu perubahan yang selaras, serasi dan seimbang dari unsur
masyarakat paling kecil sampai ke perubahan masyarakat keseluruhan; dari
tradisisonal menuju modern. Pandangan teori modernisasi semacam itu diilhami
oleh pengalaman sejarah Revolusi Industri di Inggris yang dianggap sebagai
titik awal pertumbuhan ekonomi kapitalis modern dan Revolusi Perancis sebagai
titik awal pertumbuhan sistem politik modern dan demokratis.
Perdebatan
pembangunan dalam pagar teori modernisasi melibatkan para sarjana dari berbagai
kalangan, baik ekonom, sosiolog, psikolog dan ilmuwan politik. Para ekonom
seperti Rostow, Micahel Todaro, Arthur Lewis, Hollis Chenery, Everett Hagen dan
sebagainya umumnya berbicara – dengan cara pandangnya masing-masing - tentang
implikasi pengalaman industrialisasi di Barat pada pembangunan di wilayah Dunia
Ketiga, serta membicarakan strategi dan perencanaan pembangunan, perdagangan
internasional, transfer teknologi, investasi, yang kesemuanya untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi di negara-negara Dunia Ketiga. Kehadiran para ekonom dalam
tradisi modernisasi itu yang kemudian mendeklarasikan model pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan.
Paradigma yang terfokus pada persoalan
bagaimana menjamin atau meningkatkan perbaikan taraf hidup rakyat secara terus
menerus, yang tercermin dari kenaikan pendapatan nasional atau pendapatan per
kapita (GNP) secara kumulatif. Terlebih lagi ketika PBB menetapkan tahun
1960-1970 sebagai Dekade Pembangunan I, yang memandang "pembangunan"
dalam arti pencapaian pertumbuhan GNP sebesar 6 persen per tahun.
Aliran ekonomi klasik menganjurkan bahwa percepatan
pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui investasi modal besar-besaran dalam
proses industrialisasi. Segala aset sumberdaya yang terakumulasi digunakan
untuk mencapai peningkatan produksi semaksimal mungkin. Oleh karena itu,
David Korten memberinya atribut pendekatan pembangunan
yang berpusat pada pertumbuhan. Model pembangunan ini memusatkan perhatian
pada: Pertama, industri dan bukan pertanian, padahal mayoritas
penduduk dunia memperoleh mata pencaharian mereka dari pertanian; Kedua,
daerah perkotaan dan bukan daerah pedesaan, padahal mayoritas penduduk tinggal
di daerah pedesaan; Ketiga, pemilikan aset produktif yang terpusat,
dan bukan aset produktif yang luas, dengan akibat investasi-investasi
pembangunan lebih menguntungkan kelompok yang sedikit dan bukannya yang banyak;Keempat,
penggunaan modal yang optimal dan bukan penggunaan sumberdaya modal yang
optimal, dengan akibat sumberdaya modal dimanfaatkan sedangkan sumberdaya
manusia tidak dimanfaatkan secara optimal; Kelima, pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan untuk mencapai peningkatan kekayaan fisik jangka
pendek tanpa pengelolaan untuk menopang dan memperbesar hasil-hasil sumberdaya
ini, dengan menimbulkan kehancuran lingkungan dan pengurasan basis sumberdaya
alami secara cepat; Keenam, efisiensi satuan-satuan produksi skala
besar yang saling tergantung dan didasarkan pada perbedaan keuntungan
internasional, dengan meninggalkan keanekaragaman dan daya adaptasi dari
satuan-satuan skala kecil yang diorganisasi guna mencapai swadaya lokal,
sehingga menghasilkan perekonomian yang tidak efisien dalam hal energi, kurang
daya adaptasi dan mudah mengalami gangguan yang serius karena kerusakan atau
manipulasi politik dalam bagian sistem itu.
Pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan telah
didorong oleh model-model ilmu ekonomi sistem terbuka yang konvensional, yang
memandang baik orang (manusia) maupun lingkungan sebagai variabel luar. Manusia
ditempatkan sebagai sumberdaya produksi yang dapat dipasarkan, yang dibeli bila
keuntungan marjinalnya bagi perusahaan melebihi biaya marjinalnya dan
menyingkirkannya bila tidak menguntungkan. Biaya sosial dan lingkungan dari
keputusan-keputusan perusahaan sebagian besar tidak ditanggungnya, dan
diteruskan kepada kalangan umum, sementara keuntungan diakumulasikan ke dalam
atau menjadi milik pribadi perusahaan.
Selain itu, model pembangunan tersebut percaya melalui
efek tetesan ke bawah (trickle down effect), yakni bila terjadi
akumulasi kapital di kalangan kelas atas atau pusat, maka kapital itu akan
menetes ke bawah. Orang-orang di bawah akan "kecipratan" kekayaan
ini, misalnya dalam bentuk lapangan kerja yang diciptakan. Macam-macam konsumsi
orang kaya juga akan memberikan penghasilan bagi orang-orang di lapisan bawah.
Karena itu lewat mekanisme semacam itu pula perbaikan hidup rakyat pedesaan,
yang mayoritas miskin, diharapkan dapat terwujud. Peter Hagul misalnya
mencatat: "Perbaikan taraf hidup rakyat di pedesaan, seperti halnya
perbaikan hidup rakyat pada umumnya mula-mula diharapkan dari pembangunan
ekonomi negara secara keseluruhan.
Namun sejarah menunjukkan bahwa "trickle
down effect" tidak mampu mengangkat kesejahteraan penduduk
miskin. Suatu studi komprehensif antar bangsa yang meliputi 74 negara yang
dilakukan oleh Adelman dan Morris (1978), menunjukkan bahwa kenaikan GNP
cenderung diikuti oleh suatu penurunan dalam proporsi relatif pendapatan
nasional yang diterima penduduk termiskin. Dengan demikian efek tetesan
ke bawah tidak terjadi. Sebaliknya, yang terjadi justru penyedotan ke
atas (trickle-up ef-fect) atau malahan akan terjadi penyedotan
produksi (production squeeze). Hal ini terjadi karena program-program
pembangunan direncanakan secara terpusat (top down), yang seringkali
tidak sesuai dengan masalah-masalah yang dihadapi dan kebutuhan-kebutuhan yang
dirasakan oleh masyarakat bawah yang menjadi tujuan pembangunan. Selain itu
para perencana dan penentu kebijakan yang menggariskan sasaran pembangunan dan
mengalokasikan sumber dana sering berada di bawah tekanan situasi untuk
memprodusir hasil kuantitatif dalam waktu yang singkat, sehingga mereka condong
menekankan sasaran-sasaran dari atas.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa model pertumbuhan
hanya menjadikan orang kaya menjadi kaya dan orang miskin menjadi lebih miskin.
Karena itu kritik dan kecaman terhadap doktrin developmentalisme itu terus
mengalir, mulai dari penganut paradigma kebutuhan pokok, teori ketergantungan
sampai dengan pendekatan dan gerakan baru yang mengarah pada pemberdayaan.
Gerakan pemberdayaan diawali dari munculnya paradigma pembangunan yang berpusat
pada manusia (rakyat), yang konon diakui sebagai “pembangunan alternatif”.
David Korten, misalnya, menyebut ciri-ciri paradigma pembangunan berpusat pada
rakyat sebagai berikut: Pertama, logika yang dominan dari paradigma
ini adalah logika mengenai suatu ekologi manusia yang seimbang; Kedua,
sumber daya utama berupa sumber-sumber daya informasi dan prakarsa kreatif yang
tak habis-habisnya; dan Ketiga, tujuan utamanya adalah
pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi
dari potensi manusia.
Sebagaimana dikemukakan oleh Korten (1988: 374),
paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai obyek, melainkan
sebagai aktor "yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan
mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya." Konsekuensinya,
pembangunan yang berpusat pada rakyat memberikan nilai yang sangat tinggi pada
inisisatif lokal dan sistem-sistem untuk mengorganisasi diri sendiri melalui
satuan-satuan organisasional yang berskala manusiawi dan komunitas-komunitas
yang mandiri. Model pembangunan ini punya perbedaan fundamental di dalam
karakteritik dasarnya dibandingkan dengan strategi pertumbuhan atau strategi
kebutuhan dasar yang selama ini mendominasi agenda pembangunan di Dunia Ketiga,
termasuk Indonesia.
Moeljarto Tjokrowinoto juga memberikan deskripsi mengenai ciri-ciri
pembangunan yang berpusat pada rakyat (manusia): Pertama, prakarsa
dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap demi
tahap harus diletakkan pada masyarakat sendiri. Meskipun pelbagai ketentuan
secara formal telah mengatur bottom up planning, di dalam
realitanya, LKMD lebih berfungsi sebagai implementor proyek- proyek sektoral
dan regional; Kedua, fokus utamanya adalah meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang
terdapat di komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apa yang terjadi pada
saat ini, arus dana yang relatif lancar membatasi upaya untuk mengidentifikasi
dan menggali sumber itu.Counter fund bantuan desa, dan akhir-akhir
ini "simpedes", mungkin menuju ke arah identifikasi dan mobilisasi
sumber tadi. Akan tetapi hal ini tidak boleh merupakan adhocracy,
akan tetapi harus melembaga; Ketiga, pendekatan ini
mentoleransi variasi lokal dan karenanya, sifatnya flexible menyesuaikan dengan
kondisi lokal; Keempat, di dalam melaksanakan pembangunan,
pendekatan ini menekankan pada proses social learningyang di
dalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai
dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling
belajar;Kelima, proses pembentukan jaringan (networking)
antara birokrasi dan lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi
tradisional yang mendiri, merupakan bagian integral dari pendekatan ini, baik
untuk meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola pelbagai
sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal maupun
horizontal. Melalui proses networking ini diharapkan terjadi simbiose antara
struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal.
Maka, dasar interpretasi pembangunan yang berpusat
pada rakyat adalah asumsi bahwa manusia adalah sasaran pokok dan sumber paling
strategis. Karena itu, pembangunan juga meliputi usaha terencana untuk
meningkatkan kemampuan dan potensi manusia serta mengerahkan minat mereka untuk
ikut serta dalam proses pembuatan keputusan tentang berbagai hal yang memiliki
dampak bagi mereka dan mencoba mempromosikan kekuatan manusia, bukan
mengabadikan ketergantungan yang menciptakan hubungan antara birokrasi negara
dengan masyarakat.
Proposisi di atas mengindikasikan pula bahwa inti
pembangunan berpusat pada rakyat adalah pemberdayaan (empowerment)
yang mengarah pada kemandirian masyarakat. Dalam konteks ini, dimensi
partisipasi masyarakat menjadi sangat penting. Melalui partisipasi kemampuan
masyarakat dan perjuangan mereka untuk membangkitkan dan menopang pertumbuhan
kolektif menjadi kuat. Tetapi partisipasi di sini bukan hanya berarti
keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan atau masyarakat hanya
ditempatkan sebagai "obyek", melainkan harus diikuti keterlibatan
masyarakat dalam pembuatan keputusan dan proses perencanaan pembangunan, atau
masyarakat juga ditempatkan sebagai "subyek" utama yang harus
menentukan jalannya pembangunan. Karena itu gerakan pemberdayaan menilai tinggi
dan mempertimbangkan inisiatif dan perbedaan lokal.Pada tahun 1990-an,
pemberdayaan diyakini sebagai sebuah “pembangunan alternatif” atas model
pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan. Pada tahap awal, pembangunan
alternatif mengedepankan beberapa keyakinan: Pertama, negara
merupakan bagian dari problem pembangunan, sehingga pembangunan alternatif
harus mengeluarkan dan bahkan melawan negara; Kedua, rakyat tidak
bisa berbuat salah dan bahwa masyarakat adalah perkumpulan yang mandiri;
dan Ketiga, tindakan masyarakat telah mampu dan mencukupi untuk
mewujudkan pembangunan alternatif tanpa campur tangan negara.
Akan tetapi salah satu penggagas pembangunan
alternatif, seperti John Friedmann, menolak keras tiga pandangan di atas. Bagi
Friedmann, seperti halnya Korten, pembangunan alternatif sangat berpusat pada rakyat
(manusia) dan lingkungannya ketimbang pada produksi dan keuntungan, yang
ditujukan untuk mendorong kemajuan dan HAM. Dari segi pendekatan, model
pembangunan ala Friedmann menekankan pada pemberdayaan rumah tangga beserta
anggotanya dalam tiga segi (sosial, politik dan psikologi).
Friedmann sama sekali tidak menafikkan peran negara.
Bagi dia, negara harus kuat dalam merancang dan mengimplementasikan
kebijakannya. Negara kuat tidak harus ditandai dengan birokrasi yang otoriter
dan arogan, melainkan birokrasi yang responsif, transparan dan
bertanggungjawab.Negara yang kuat seperti itu, kata Friedmann, didukung kuat
oleh demokrasi inklusif, dimana kekuasaan negara untuk mengelola problem lebih
baik bersifat lokal. Ini membutuhkan desentralisasi politik dari pemerintah
nasional ke pemerintah lokal, khususnya lagi kepada masyarakat setempat yang
terorganisir dalam komunitas mereka sendiri.
Pembangunan
Politik
Dalam konteks ilmu politik, pemberdayaan politik bisa
dilacak dari konsep pembangunan politik yang mulai dikembangkan sejak akhir
dekade 1950-an. Setidaknya ada dua peristiwa besar yang mendorong munculnya
studi pembangunan politik. Pertama, lahirnya negara-negara baru
Dunia Ketiga pasca Perang Dunia II terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan,
yang tentu saja menjadi tantangan baru bagi ilmuwan untuk melakukan kajian
politik di wilayah itu, misalnya mengkaji tentang perubahan politik atau
penerapan sistem politik beserta infrastruktur yang menopangnya. Kedua,
berkembangnya studi area dan revolusi behavioralisme dalam ilmu politik, yang
ditandai dengan upaya serius para ilmuwan politik untuk mengkombinasikan
kecermatan teoretik dan metodologi untuk melakukan penelitian empirik
lintas-nasional yang bisa menghasilkan generalisasi universal dan komparatif.
Konon Komite Perbandingan Politik pada Badan
Penelitian Ilmu-ilmu Sosial menggelar konferensi dan publikasi yang didesain
untuk membawa pengetahuan dan pengalaman baru tentang pola dan problem
pembangunan (politik). Perencanaan proyek besar ini menumbuhkan sebuah
keyakinan bahwa pembangunan di wilayah Dunia Ketiga tidak bisa diselesaikan
hanya dengan campuran kebijakan ekonomi, tetapi juga dengan kemampuan
lembaga-lembaga politik untuk memobilisasi dan meningkatkan sumberdaya manusia
dan alam. Variabel-variabel politik dipandang sama pentingnya dengan variabel
ekonomi; dan bahkan ditegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak mungkin bisa
berjalan tanpa pembangunan politik.Hasil konferensi besar itu disambut dengan
semangat oleh para komparativis untuk menggelar kajian-kajian pembangunan
politik. Tetapi, seperti halnya perdebatan di arena pembangunan ekonomi, para
ilmuwan komparatif politik pun punya cara pandang yang berbeda-beda atas
pembangunan politik, meski mereka tidak keluar dari payung teori modernisasi.
Problem pertama yang dihadapi adalah bagaimana mendefinisikan pembangunan
politik. Sejauh karya-karya yang bertebaran menunjukkan bahwa definisi
pembangunan politik sangat terfragmentasi, antara lain karena istilah
“pembangunan politik” punya makna positif sehingga para ilmuwan politik
cenderung menerapkannya pada hal-hal yang mereka anggap penting dan diperlukan.
Logikanya, pemanfaatkan istilah pembangunan politik tidak perlu menyimpan
kepentingan atau fungsi-fungsi yang bermanfaat, sehingga orang tidak punya
perasaan bahwa pembangunan politik adalah sebuah konsep yang berlebihan. Bagi
ilmuwan politik, konsep pembangunan politik lebih memberi fungsi legitimasi di
masyarakat ketimbang memberi fungsi analitis.
Selain itu karena pembangunan politik merupakan
aspek-aspek modernisasi, ia menjadi sebuah gagasan maupun proses yang luas dan
kompleks, sehingga muncul keyakinan awal bahwa pembangunan politik harus
dimaknai dan diukur dengan banyak kriteria yang banyak (bervariasi). Lucian Pye
misalnya, tidak tanggung-tanggung membuat sepuluh kriteria untuk mendefinisikan
pembangunan politik (PP), yakni: PP sebagai prsayarat politik bagi pembangunan
ekonomi; PP sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat industri; PP sebagai
modernisasi politik; PP sebagai operasi negara-bangsa; PP sebagai pembangunan
administrasi dan hukum; PP sebagai mobilisasi dan partisipasi massa; PP sebagai
pembinaan demokrasi; PP sebagai stabilitas dan perubahan yang teratur; PP
sebagai mobilisasi dan kekuasaan; dan PP sebagai satu segi proses perubahan
sosial yang multidimensional.Selain sepuluh kriteria di atas, Pye juga
mengedepankan tiga dasar dan jantung pembangunan politik: peningkatan persamaan
(equality) yang menyangkut masalah parti-sipasi, demokratisasi,
mobilisasi, keadilan hukum, dan rekruitmen didasarkan hasil yang dicapai;
kapasitas (capacity) yang berkaitan dengan prestasi aparat
birokrasi, efektivitas dan efisiensi implementasi kebijakan publik, reformasi
dan rasionalisasi administrasi; serta diferensiasi dan spesialisasi yang
berhubungan dengan desentralisasi, spesialisasi fungsi, dan integrasi elite.
Di tempat lain, Almond dan Powell hanya
mengajukan tiga kriteria pembangunan politik, yaitu: diferensiasi struktural,
otonomi subsistem dan sekuralisasi budaya. Sementara, menurut Claude Welch
modernisasi politik umumnya punya tiga ciri khas: Pertama,
peningkatan pemusatan kekuasaan pada negara; yang dibarengi dengan melemahnya
sumber-sumber wewenang kekuasaan tradisional; Kedua, diferensiasi
dan spesialisasi lembaga-lembaga politik; Ketiga, peningkatan
partisipasi rakyat dalam politik dan kesediaan individu-individu untuk
mengidentifikasi dirinya dengan sistem politik sebagai suatu keseluruhan.
Tidak jauh berbeda, Coleman mengatakan
bahwa pembangunan politik menunjuk pada proses diferensiasi struktur politik
dan sekulariasi budaya politik yang mengarah pada etos keadilan; dengan
bertujuan akhir pada penguatan kapasitas sistem politik.
§ Pertama, diferensiasi politik dapat dikatakan sebagai salah
satu kecenderungan dominan sejarah perkembangan sistem politik modern.
§ Kedua, prinsip kesamaan dan keadilan merupakan etos
masyarakat modern. Baginya, modernisasi politik, tidak lain diartikan sebagai
usaha untuk merealisir prinsip keadilan distribusi khususnya dalam bidang
ekonomi.
§ Ketiga, usaha pembangunan politik yang berkeadilan akan
membawa akibat pada perkembangan kapasitas sistem politik. Menurut pandangan
ini modernisasi harus dilihat sebagai usaha progresif penguatan kapasitas
sistem politik.
Perdebatan awal tentang makna dan kriteria memang
mengalami divergensi yang meluas, tetapi para ilmuwan tetap bekerja di bawah
payung teori modernisasi. Mereka tetap punya ortodoksi kuat bahwa modernisasi
merupakan penggerak sejarah yang akan mengantarkan masyarakat ke dalam sistem
ekonomi-politik modern seperti di Eropa Barat dan Amerika Utara, yakni
kapitalisme dan demokrasi. Sebaliknya, rezim otoritarian dianggap pemikir
modernisasi sebagai sisa kekuasaan tradisional yang belum hilang: gaya
patrimonial, kekeluargaan, absolut, sewenang-wenang, dan korupsi. Modernisasi
dan kohesi sosial perlahan terwujud seiring dengan berkembangnya pertumbuhan
ekonomi dan demokrasi liberal. Konflik politik yang dilihat adalah
persengketaan antar individu, antar pelaku politik, karena mengemban nilai yang
beda: antara golongan yang dirasuki semangat modernisasi termasuk kelas
menengah, dengan kaum elit lama yang berusaha mempertahankan tradisi.
Keyakinan awal tahun 1950-an adalah pembinaan
demokrasi dan perluasan partisipasi politik. Secara empirik keyakinan ini
diterapkan di sebagian besar negara-negar Dunia Ketiga. Negara-negara ini telah
memilih jalan demokrasi liberal untuk merekayasa bangun sistem politik. Tetapi
di sepanjang tahun 1950-an, dunia menyaksikan kekacauan dan instabilitas
politik di negara-negara baru yang menerapkan demokrasi liberal. Akibatnya
pilihan pada demokrasi itu mengalami kegagalan total sejak akhir tahun 1950-an,
yang digantikan dengan munculnya otoritarianisme yang dipandegani militer.
Dilema dan problem demokrasi itu dipetakan secara baik
oleh Samuel Huntington. Publikasi artikel pertama “Political Development and
Political Decay” yang kemudian disusul dengan karya kedua, Political
Order in Changing Societies, menampilkan gagasan institusionalisasi
Huntington dan sekaligus memperlihatkan rangkaian kritik yang menentukan dalam
pembangunan politik di masa itu dan bahkan di masa depan. “Bukalah matamu
terhadap kenyataan” adalah pesan Huntington terhadap persoalan yang relevan
dari penelitian yang sebelumnya dan mendefinisikan kembali teka-teki utama yang
dihadapi para mahasiswa Asia, Afrika, dan Amerika Latin tentang political
decay(disorder/kekacauan) ketimbang pembangunan. Untuk memecahkan teka-teki
tersebut, Huntington membedakan perkembangan politik dalam modernisasi dan
mengidentifikasi intitusionalisasi dulu, yang telah didefinisikan sebagai
“proses dimana pengorganisasian dan prosedurnya memperoleh nilai dan
stabilitas” (Huntington, 1965: 394). Implikasinya telah berpengaruh secara
luas. Dengan memisahkan perkembangan konsep modernisasi, Huntington membuang
asumsi-asumsi evolusi, unilinier and asumsi teleologis yang telah diwariskan
oleh pemikiran gaya Eropa sejak abad 19, seperti Ferdinand Toennis dan Max
Weber, dan telah memahami arti penelitian secara empirik tentang hubungan
antara perubahan sosial ekonomi dan hasil politik. Jika pembangunan dan
modernisasi menimbulkan perbedaan bentuk proses sosial, dua hal yang mungkin
bisa dikaitkan secara positif atau secara negatif atau bahkan tidak
kedua-duanya. Karena itu proses modernisasi tidak dapat dielakkan, pembangunan politik
kemungkinan besar adalah sebuah produk yang tidak dapat dipakai terbalik (riversible)
yang mungkin merubah lintasan waktu dan ruang yang sangat signifikan.
Di dalam formulasi awalnya, Huntington menolak
pandangan konseptualisasi pembangunan politik yang menekankan modernisasi,
pertumbuhan ekonomi, mobilisasi dan partisipasi, yang keempatnya memang
mengalami percepatan di wilayah Asia, Amerika Latin dan Afrika. Kata Huntington
(1965: 406), pertumbuhan ekonomi yang cepat malah menyebabkan ketidakstabilan
politik. Mobilisasi lewat komunikasi yang tinggi tanpa diikuti dengan
pembangunan ekonomi yang tinggi (industrialisasi dan urbanisasi) akan
menyebabkan frustasi sosial yang meningkat. Sebaliknya, kalau partisipasi
politik meningkat sementara institusionalisasi rendah akan menyebabkan
terjadinya ketidakstabilan politik. Argumen tersebut mengacu pada gagasan “paradox
of mass politics” dari William Kornhauser ketika dia melihat tekanan massa
yang hebat pada sistem politik perubahan sosial yang sangat cepat. Kalau
ditarik sampai kesimpulan yang lebih makro, modernisasi tidak menimbulkan
pembangunan seperti dibayangkan para teoretisi sebelumnya, melainkan justru
semakin memungkinkan lapuknya institusi-institusi politik demokratis dan timbul
apa yang disebut Huntington sebagai praetorianisme, atau tumbuhnya rezim-rezim
militer modernis. Karena itu, Huntington malah merekomendasikan intervensi
militer untuk menciptakan political order yang stabil
(Huntington, 1965: 425; 1968: 79-80).
Rekomendasi Huntington yang permisif terhadap
intervensi militer untuk menciptakan tertib politik yang stabil itu dinilai
kontroversial dengan kajian sebelumnya yang mengecam intervensi militer
praetorian. Tetapi apa yang disampaikan oleh Huntington sangat didasarkan pada
rententan fenomena bangkrutnya lembaga-lembaga demokrasi menyusul instabilitas
politik yang kemudian digantikan oleh rezim-rezim militer otoritarian di
negara-negara Dunia Ketiga yang sedang mengalami proyek modernisasi. Lagipula
Huntington berpikiran dengan gaya fungsionalisme-struktural, bahwa
otoritarianisme berfungsi sebagai pencipta dasar-dasar kapitalisme industrial
dan demokrasi liberal dalam jangka panjang (walaupun segera tampak, proses ini
digerakkan dari atas melalui mobilisasi rakyat terpusat seperti dalam model
Leninis). Dalam prosesnya ketika dijumpai penghalang nilai modern dan rasional
karena tiadanya kelas menengah yang kuat, mau tak mau militer pegang peranan:
ketidakstabilan masyarakat dan kudeta karena munculnya kelas menengah, membuat
keadaan militer berubah .......militer dimodernisasi, kemudian mengembangkan
konsep efisiensi, kejujuran dan nasionalisme. Perubahan ini akan mengasingkan
mereka dari tatanan masyarakat yang ada. Tapi mereka akan ikut mengurusi
politik, untuk menggiring masyarakat ke tujuan yang sesuai dengan jalan mereka.
Mereka adalah pengawal kemajuan kelas menengah tanpa huru-hara, sambil
memperluas pengaruh mereka di arena politik...suatu saat ketika kelas menengah
kota menjadi elemen dominan di kancah politik, maka militer akan menganggap
dirinya sendiri sebagai perantara dalam jalur-jalur politik yang ada atau
penjaga kestabilan (1968: 222).
Tetapi militer yang otoritarian bukanlah lembaga yang
dalam jangka panjang mampu memelihara stabilitas politik. Huntington tetap konsisten
pada tesis awalnya bahwa militer bukanlah variabel yang menentukan stabilitas,
tetapi stabilitas sangat tergantung pada institusionalisasi dan partisipasi.
Ketika terjadi peningkatan partisipasi, kompleksitas, otonomi, kemampuan
menyesuaikan diri, maka konsistensi institusi-institusi politik masyarakat
harus juga meningkat bila stabilitas ingin tetap dipertahankan. Stabilitas
mungkin dapat dipelihara dengan mengisolasi institusi politik dari tekanan yang
populer, yang salah satunya dengan memperlambat proses mobilisasi sosial atau
dengan membatasi kompetisi diantara pendukung yang populer.
Alternatif tersebut menyangkut gagasan institusi
politik baru yang mampu merubah iklim kekuatan modernisasi. Huntington menaruh
perhatian pada partai politik dan sistem kepartaian – bukan militer dan
birokrasi -- sebagai sarana institusionalisasi untuk mengorganisir perluasan
partisipasi politik akibat modernisasi maupun demokratisasi. Partai dibentuk
untuk mengorganisir partisipasi politik, sementara sistem kepartaian
batas-batas sampai di mana partisipasi boleh diluaskan. Stabilitas maupun
kokohnya partai dan sistem kepartaian, kata Huntington, sangat tergantung pada
derajat institusionalisasi dan partisipasi. Partisipasi berskala luas yang
diikuti dengan derakat rendah institusionalisasi partai akan membuahkan politik
anomik dan kekerasan. Sebaliknya, partisipasi yang rendah juga cenderung
memperlemah partai politik. Partai dan sistem kepartaian yang menggabungkan
mobilisasi dan organisasi dapat melaksanakan modernisasi politik menuju
demokrasi secara damai (1965: 425; 1968: 617-620).
Untuk melengkapi pandangannya tentang
institusionalisasi dalam pembangunan politik, Huntington mengemukakan empat
indikator utama yang harus diperhatikan. Pertama,
penyesuaian-kekakuan (adaptability-regidity). Menurut Huntington, suatu
organisasi dan prosedur yang mudah beradaptasi, maka semakin tinggi tingkat
institusionalisasinya; sementara organisasi yang tak dapat beradaptasi dan
makin kaku maka makin rendah tingkat institusionalisasinya. Makin banyak
tantangan yang timbul dalam lingkungannya serta makin tua umurnya, makin mudah
organisasi itu beradaptasi. Kekakuan lebih merupakan cirikhas organisasi baru
ketimbang organisasi yang lama. Kedua, kerumitan-kesederhanaan (complexcity-simplicity).
Makin rumit organisasi, makin tinggi kelembagaannya. Sistem politik tradisional
yang relatif primitif dan sederhana biasanya hancur dalam proses modernisasi.
Sistem-sistem tradisional yang lebih kompleks mungkin menyesuaikan diri dengan
tuntutan-tuntutan baru. Kerumitan menghasilkan stabilitas.Ketiga,
otonomi-subordinasi (autonomy-subordination). Ukuran institusionalisasi
ketiga adalah sejauh mana organisasi-organisasi dan prosedur-prosedur politik
bebas (mandiri) diri pengaruh pengelompokan-pengelompokan sosial dan cara-cara
perilaku sosial lainnya, termasuk sejauh mana lingkungan politik dibedakan dari
lingkungan-lingkungan lainnya? Dalam sistem politik yang modern,
organisasi-organisasi politik punya suatu integritas tegas, yang tidak dimiliki
oleh organisasi-organisasi politik di dalam sistem-sistem yang kurang maju.
Mereka bebas dari pengaruh kelompok dan prosedur-prosedur nonpolitis lainnya.
Dalam sistem yang kurang berkembang organisasi-organisasi politik itu mudah
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan nonpolitik. Institusionalisasi politik,
dalam artian kebebasan (otonomi), berarti perkembangan organisasi-organisasi
dan prosedur-prosedur politik yang bukan sekadar menjadi terompet kepentingan
kelompok-kelompok sosial tertentu. Keempat, keutuhan-perpecahan (coherence-disunity).
Makin bersatu dan utuh suatu organisasi, maka makin tinggi tingkat
pelembagaannya; makin besar perpecahannya makin rendah tingkat pelembagaannya.
Tindakan-tindakan konsensus tentu merupakan syarat bagi kelompok sosial manapun.
Suatu organisasi yang efektif paling tidak menuntut adanya konsensus mengenai
batas-batas fungsional kelompok itu serta prosedur-prosedur untuk menyelesaikan
sejumlah pertikaian tentang pokok-pokok masalah yang muncul di dalam
batas-batas itu.
Rekomendasi Huntington itu ternyata punya pengaruh
kuat, baik dalam konteks perdebatan pembangunan politik maupun dalam praktik
empirik. Seperti terlihat dalam box, idealisme pembangunan politik
itu diyakini sebagai “model ideal” bangunan politik yang bisa diterapkan di
negara-negara Dunia Ketiga. Karena model itu dibangun atas asumsi bahwa
negara-negara Dunia Ketiga masih baru, maka idealisme “rekomendasi” yang muncul
dipusatkan kepada negara, yaitu bagaimana memperkuat negara modern. Penguatan
negara modern membutuhkan modernisasi politik, modernisasi birokrasi,
institusionalisasi, stabilitas politik dan lain-lain. Bersamaan dengan proyek
modernisasi ekonomi, model pembangunan politik yang berpusat pada negara
(termasuk rekomendasi Huntington) mulai diterapkan di Dunia Ketiga sejak akhir
1960-an, menyusul gagalnya praktik demokrasi liberal dan perluasan partisipasi
politik sepanjang dekade 1950-an.
Konseptualisasi awal pembangunan politik yang dinamis
telah berjasa besar meng-coversemua hal yang baik berjalan
bersama” (all good things go together) seperti pernah dipesan
oleh Robert Packenham (1973), sehingga bisa menjadi sebuah kerangka preskripsi
yang sangat diperhitungkan bagi pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga.
Tetapi “ide-ide kemajuan” yang dibawa teori modernisasi telah mengalami
kemunduran (kemerosotan) mulai dekade 1970-an, karena telah gagal
memprediksikan perubahan politik yang berlawanan dengan “ide-ide kemajuan”
semacam meluasnya otoritarianisme dan ketergantungan di wilayah Dunia Ketiga.
Sementara ide institusionalisasi Huntington tetap berpengaruh luas di Dunia
Ketiga, karena dinilai memberi izin terhadap penguatan negara sampai pada
tampilnya militer dan pemimpin kuat.Teori modernisasi mulai mengalami
kemunduran di tahun 1970-an. Pertama karena gagalnya program modernisasi PBB
melalui Economic Comission for Latin America (ECLA) di
negara-negara Amerika Latin. Program itu dikritik sebagai penyebab
ketergantungan dan keterbelakangan di wilayah negara-negara Amerika Latin.
Kedua karena munculnya rezim-rezim otoritarianisme yang menyertai pematangan
kapitalisme di negara-negara yang terlambat melancarkan industrialisasi.
Kemunduran teori modernisasi kemudian direspons oleh
hadirnya teori-teori baru dari dependensi, menyusul teori yang berpusat pada
negara dan teori demokratisasi kontemporer. Ketiga teori ini terlampau jauh
meninggalkan konsep pembangunan politik dan “ide-ide kemajuan” teori
modernisasi yang digantikannya dengan kajian-kajian tentang perubahan politik.
Dengan kata lain, teori-teori tersebut muncul hanya sebagai respons atas
perubahan politik yang terjadi tanpa mendesain kerangka preskripsi seperti
dilakukan oleh teori modernisasi. Tetapi, ketiganya tetap saja gagal
mengantisipasi (memprediksikan) perubahan politik yang terjadi kemudian setelah
setiap teori mengalami kejayaan. Teori dependensi misalnya, telah mengalami
kemunduran yang terpuruk setelah ia berhadapan dengan beberapa fakta:
ketergantungan Dunia Ketiga pada negara-negara Barat ternyata tidak terjadi
sepenuhnya; tampilnya negara-negara kuat dan relatif otonom di hadapan rakyat
dan kekuatan kapitalis internasional serta gelombang demokratisasi yang melanda
di belahan dunia. Demikian juga dengan teori demokratisasi mutakhir yang begitu
sibuk menjelaskan proses transisi tanpa memprediksikan efek-efek kemunduran
(paradoks) yang mengikuti demokratisasi semacam konflik dan disintegrasi.
Sepanjang dekade 1970-an hingga 1980-an, perhatian
ilmu politik terkuras pada meluasnya otoritarianisme atau tampilnya
negara-negara kuat di belahan dunia. Di balik wacana pembangunan, teoritisi
dependensi adalah yang pertama kali menantang inti "Otoritarianisme
Birokratik". Menurut O’Donell, negara yang punya label
otoritarianisme-birokratik, perangkat negara telah didominasi oleh
pejabat-pejabat militer, dan birokrasi membengkak; fungsi partai-partai
politik, ormas dan lembaga-lembaga politik lainnya juga sudah dirombak. Jika
dulu lembaga-lembaga politik tersebut adalah jalurnya rakyat beraspirasi dan
berpartisipasi dalam politik, maka sekarang sebaliknya, lembaga-lembaga itu
sudah jadi alat kontrol korporatis negara atas rakyat; kehidupan politik rakyat
sudah didepolitisasi. Akhirnya segala persoalan sosial politik rakyat paling
mendesak di negeri ini, telah diredusir, diredam dan bahkan berusaha dialihkan
dengan menganggapnya karena kualitas pengetahuan, teknik dan keterampilan
rakyat yang rendah, dan hal ini cuma bisa dipecahkan "secara bijak"
oleh pejabat dan kaum teknokrat.
Apa yang dihasilkan oleh Boron dan O’Donnel kemudian
disambut dengan penuh semangat dalam perdebatan tentang perubahan politik di
kawasan Dunia Ketiga. Philipe Schmitter misalnya, menyambutnya dengan
menampilkan model baru yang disebut korporatisme negara. Korporatisme negara
didefinisikan oleh Schmitter sebagai suatu sistem perwakilan kepentingan dimana
unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya terbatas
dan bersifat tunggal, mewajibkan (keanggotaan), tidak saling bersaing, diatur
secara hirarkhis, yang diakui atau diberi izin (kalau tidak diciptakan sendiri)
oleh negara dan diberi hak monopoli untuk mewakili kepentingan dalam bidangnya
masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan mematuhi pengendalian-pengendalian
tertentu dalam pemilihan pimpinan mereka dan dalam artikulasi tuntutan dan
dukungan.Korporatisme negara muncul bermula dari kesadaran betapa hampir semua
negara Dunia Ketiga dihadapkan pada pilihan yang rumit: jalan memenuhi
tuntutan-tuntutan dunia kapitalis yang berarti memaksimalkan liberalisasi dan
persaingan serta pemaksimalan kepentingan pribadi demi tercapainya efisiensi
dan perekonomian yang kompetitif. Dan di sisi lain adalah jalan yang
mementingkan rakyat banyak yang mengandung tuntutan untuk memaksimalkan kontrol
ekonomi dengan perencanaan negara untuk mencapai masyarakat politik yang
terintegrasi dengan menghilangkan otonomi kelompok-kelompok yang ada. Banyak
negara Dunia Ketiga yang mencoba menolak dua pilihan ekstrim ini dan secara
longgar mengambil unsur-unsur yang diinginkan dari kedua pilihan ini dengan
rasionalisasi, pembenaran, dan pengesahan ideologi korporatisme. Negara dan
masyarakat dianggap sebagai satu keluarga, dimana negara bertindak sebagai
kepala keluarga. Negara dengan demikian terus-menerus ditekan untuk memberikan
bentuk-bentuk legitimasi ideologi untuk mengatur dan mengharmoniskan seluruh
kepentingan politik dan ekonomi.
Beberapa teoritisi dekade 1970-an melihat bahwa negara
darurat baru atau negara otoritarian birokratik atau negara korporatis itu
muncul karena bisa menyelesaikan krisis ekonomi akibat makin lemahnya kemampuan
strategi industrialisasi impor dalam mengem-bangkan kapitalisme industri. Bagi
Boron dan Donnell, melemahnya strategi di atas membuat kapitalisme harus
diperbaharui strukturnya. Hal ini menuntut pendalaman industrialisasi dan
pelaksanaan strategi industri yang berorientasi ekspor. Konsekuensinya, modal
pasti ditransnasionalisasi dan penghapusan nasionalisasi modal domestik, hutang
luar negeri melonjak, pendapatan nasional memusat di segelintir orang, kontrol
dan eksploitasi terhadap pekerja makin intensif. Proyek begini ini hanya bisa
sukses kalau dikendalikan oleh suatu rezim yang otoritarian. Jadi menurut
mereka, bentuk otoritarianisme yang baru adalah akibat makin leburnya Dunia
Ketiga dalam jaringan pembagian kerja internasional baru. Boron malah lebih
jauh, bahwa krisis kapitalisme kontemporer itu tak hanya terjadi di periferi,
tapi juga di ekonomi industri maju. Negara industri ini juga makin membutuhkan
kehadiran kekuasaan yang otoritarian, supaya tingkat keuntungan bisa
dipertahankan.
Kajian struktural atas dependensi dan
otoritarianisme-korporatisme tampaknya membawa dua implikasi sekaligus. Pertama,
muncul ortodoksi baru yang berlawanan dengan teori modernisasi, bahwa
otoritarianisme politik sebenarnya tidak bertentangan (kontradiksi) dengan
masyarakat dan kebudayaan kapitalis modern. Sebaliknya ortodoksi baru itu
mengatakan bahwa tipe otoritarianisme tertentu, yang dominan sosoknya di
Amerika Latin dan Asia itu, menyatu dengan proses modernisasi sosial ekonomi.
Dalam kepustakaan pertumbuhan-dan-politik Asia Timur umumnya sampai pada
kesimpulan bahwa demokrasi tidak cocok dengan perkembangan ekonomi yang pesat,
terutama dari jenis industrialisasi pimpinan ekspor. Robert G. Wade, sebagai
contoh, mengajukan argumen, terutama dengan data dari Taiwan, bahwa penyebab
utama prestasi pembangunan Asia Timur adalah tampilnya negara intervensionis
atau aktivis bukannya negara polisi-pasif. Suatu negara intervensionis pasti
otoriter-korporatis.
Stephan Haggard dalam karyanya yang banyak dikutip, Pathways
from the Periphery, secara eksplisit menyimpulkan bahwa otoriterisme
bukanlah prasyarat keberhasilan pertumbuhan pimpinan ekspor. Tetapi
argumentasi substantifnya didasarkan pada kasus-kasus Korea, Taiwan, Singapura,
dan Hongkong, dengan memberi bobot yang besar pada "isolasi" negara
dari tekanan-tekanan masyarakat. Isolasi sebenarnya tidak ada bedanya dengan otoritarianisme
maupun dirigisme, yang berarti bahwa negara punya otonomi relatif dan kebal
dari pengaruh kekuatan-kekuatan di luarnya.
Di sisi lain, prestasi ekonomi luar biasa di Amerika
Latin dan Asia Timur dan ortodoksi pada otoritarianisme sebagai penyokong
prestasi itu, dengan sendirinya menjadi titik awal kemunduran teori dependensi.
Generalisasi teori dependensi terhadap bahaya ketergantungan, misalnya,
ternyata kehilangan pengaruh ketika dihadapkan pada keberhasilan pembangunan
ekonomi yang terjadi di kawasan Amerika Latin dan Asia Timur. Dari segi
teoretis, tampilnya negara-negara otoritarian-korporatis menandakan bahwa
negara-negara pinggiran Dunia Ketiga sebenarnya punya otonomi relatif yang
bukan sekadar sebagai “komite administratif” yang tunduk pada modal asing dari
negara-negara metropolis. Kedua, kajian tentang
otoritarianisme-korporatisme serta kemunduran pengaruh teori dependensi di atas
ternyata mendorong gairah baru para ilmuwan untuk mengembalikan “negara”
sebagai pusat analisis utama, yang sebelumnya diabaikan karena para ilmuwan
sangat terpesona pada behavioralisme, teori sistem, struktural fungsional dan
pluralisme yang berpusat pada masyarakat. Kembalinya teori yang berpusat pada
negara diawali kritik teoretis pada teori-teori sebelumnya yang hanya
menempatkan negara sebagai mediator yang pasif di antara kelompok-kelompok
pluralis dalam masyarakat, dan menganggap negara hanya sebagai panitia kecil
yang mengabdi pada kepentingan kelas yang berkuasa. Sebaliknya para pendukung
teori yang berpusat pada negara menempatkan negara bukan sekadar instrumen
kelompok atau kelas, tetapi juga punya otonomi relatif yang kebal dari pengaruh
kelompok-kelompok dan kelas di luarnya. Negara tidak lagi bisa dilihat sebagai
administrator proses penghisapan surplus, tetapi sebagai suatu komponen terpadu
dalam formasi dan konflik kelas serta menjadi bagian dari transformasi bentuk
serta hubungan-hubungan produksi.
Kembalinya teori yang berpusat pada negara pada dekade
1980-an berusaha menggeluti masalah hubungan antara rezim, negara dan
kapitalisme. Para pendukungnya mencoba menelusuri kembali konflik antara
kekuatan sosial yang berjuang sendiri dengan kekuatan sosial yang melakukan
praktek persekongkolan, serta berusaha mencari kekuatan apa yang membangun negara.
Buat mereka perjuangan kepentingan yang berlangsung di balik proses pembuatan
kebijakan, jauh lebih penting untuk dilacak, ketimbang apa yang selama ini
dipersoalkan oleh pendekatan perbandingan politik. Sebab, sebenarnya konflik
karena perbedaan kepentingan sosiallah yang serius terjadi.
Teori-teori negara ini berasal dari ilmuwan yang
berpayung di bawah tradisi Marxis maupun neo-Weberian, seperti Peter Evan,
Skocpol, Block dan Trimberger. Di Indonesia, kajian-kajian yang berpusat pada
negara juga bertebaran yang terlihat pada karya-karya ilmuwan berhaluan
strukturalis seperti Richard Robison, Arief Budiman, Mohtar Mas’oed dan
sebagainya. Para ilmuwan pendukung pendekatan yang berpusat pada negara umumnya
mengatakan bahwa negara (atau kesatuan pegawai-pegawainya) sebagai kesatuan
yang otonom, punya kepentingan-kepentingan yang sifatnya koheren dan bisa
dirasakan kehadirannya (tak tersembunyi). Bahkan negara mampu memperjuangkan
kepentingannya sendiri melampaui kepentingan jangka pendek dan jangka panjang
kekuatan sosial yang dominan di masyarakat.
Kalau kita lihat Marxisme klasik, teori-teorinya
cenderung melihat rezim otoritarian muncul dalam masyarakat yang masih di tahap
pra-kapitalis, sedang demokrasi berkembang di masyarakat yang sudah kapitalis,
dimana borjuis punya pengaruh kuat. Sama dengan Weber, pemikiran ini bersumber
pada cara pandang yang orientalis.
Kita lihat misalnya konsep Marx sendiri tentang mode
produksi Asiatic. Dalam konsep ini, absolutisme suatu rezim karena kaum
birokrat mendominasi segalanya atas nama negara. Jadi negara bukan dikuasai
kelas tuan tanah dan kelompok kuat lain di masyarakat, tapi sebaliknya. Di sini
lembaga pemilikan pribadi lemah. Rupa-rupanya teoritisi Weberian maupun Marxis
punya kesimpulan yang sama tentang arti penting kapitalisme, bahwa munculnya
demokrasi liberal borjuis adalah suatu reaksi alamiah dan disitulah sejarah
politik dan sosial Eropa Barat terbentang. Hancurnya absolutisme kerajaan tak
pelak segayung bersambut dengan munculnya kekuasaan sosial borjuis, meluasnya
pasar, pemilikan pribadi dan kebebasan individual.
Marx sebenarnya pernah mengakui bahwa rezim
otoritarian bisa saja muncul di tengah masyarakat kapitalis, terutama dalam
analisisnya tentang Bonapartisme. Kasus rezim Louis Bonaparte ini menggambarkan
bagaimana kekuatan politik rakyat mengancam hegemoni politik borjuis, sehingga
borjuis terpaksa berpaling ke militer. Borjuis bersedia mengorbankan rezim
(parlemen borjuis) demi selamatnya negara: secara utuh, maka kekuatan
politiknyalah yang musti dihancurkan....supaya harta karunnya selamat, maka
tahta kerajaan harus dikorbankan."Di jalur berpikir di atas, terbangunlah
kerangka analisis ortodoks di kalangan teoritisi negara. Anggapan umum kaum
ortodoks, kalau ekonomi kapitalis matang berarti dominasi kelas borjuis
menguat, dan sifat penguasaannya makin kompleks. Sehingga kelas borjuis perlu
situasi politik ekonomi yang lebih otonom. Kedua, struktur perantaraan politik
tak akan bisa dilaksanakan kalau rezimnya otoritarian, hirarkhis dan eksklusif.
Tapi sebenarnya pokok perdebatan di antara teoritisi
negara bukanlah soal asumsi di atas, tapi apakah kapitalisme Dunia Ketiga akan
matang atau tidak.
Yang jauh lebih penting, kembalinya teori yang
berpusat pada negara ternyata tidak mampu menggeser pendekatan teoretis
sebelumnya yang sudah lama mapan dalam ilmu politik. Tampilnya kembali
teori-teori negara sebenarnya hanya mencerminkan perdebatan antara kulturalis
versus strukturalis, terutama kelesuan pendekatan kulturalis dalam menjelaskan
perubahan ekonomi-politik global, terutama tumbuhnya otoritarianisme,
pematangan kapitalisme di Dunia Ketiga, yang kemudian disusul dengan gelombang
demokratisasi pada skala global.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari pengalaman
sepanjang dekade 1970-an dan 1980-an? Para ilmuwan politik tampaknya lebih
sibuk mengembangkan teori-teori eksplanatif untuk menjelaskan berbagai bentuk
perubahan politik yang mengarah pada penguatan negara yang mengiringi
pendalaman kapitalisme terutama di Dunia Ketiga. Pada dekade ini tampaknya
teori-teori preskriptif seperti pembangunan politik pada dekade 1960-an tidak
mengalami perkembangan yang berarti. Demikian juga dengan isu pemberdayaan
politik yang belum tersentuh, meskipun pada level empirik pada tahun-tahun ini
telah terjadi pergolakan dan perjuangan masyarakat sipil untuk memulai
demokratisasi.
Perubahan Haluan Memasuki
dekade 1990-an, para ilmuwan politik mulai melakukan perubahan haluan
dari state centric ke society centric, dari
isu government ke isugovernance dan dari politik
tradisional ke politik transformatif. Teori-teori yang bersifat preskriptif
mulai mereka kembangkan, misalnya demokratisasi, konsolidasi,
institusionalisasi baru, pemberdayaan masyarakat sipil, dan lain-lain.
Perubahan haluan ini setidaknya didorong oleh dua hal. Pertama,
berkembangnya gerakan dan perubahan politik yang mengarah ke kondisi positif,
yaitu meluasnya demokratisasi di belahan dunia. Para ahli perbandingan politik
tidak hanya mengembangkan teori-teori eksplanatif yang menjelaskan gelombang
demokratisasi, tetapi juga mengembangkan teori-teori preskriptif yang sangat
bervariasi untuk membangun demokrasi yang lebih kokoh di negara-negara
demokrasi baru. Kedua, pengaruh dari perkembangan baru dalam
sosiologi seperti munculnya teori-teori kritis, postmodernisme,
poststrukturalisme, feminisme dan lain-lain. Munculnya teori-teori ini antara
lain sebagai bentuk kritik keras terhadap bias-bias etnosentris Barat dan
kesepihakan yang inheren dalam wacana dan praksis modernisasi sebagai hasil
utama proyek Pencerahan.
Dari
negara ke masyarakat
Jika dekade 1980-an mengembangkan semangat “membawa
negara pada posisi semula”, maka pada tahun 1990-an berubah menjadi “membawa
masyarakat ke posisi semula”, atau yang lebih tepat adalah “membawa negara
lebih dekat ke rakyat” (bringing the state closer to the people). WORLD
DEVELOPMENT REPORT (1997) termasuk pengusung gagasan baru itu, yang di dalamnya
terkandung beberapa semangat. Pertama, memadukan peranan dan
kapasitas negara dalam melakukan dan promosi aksi kolektif dalam proses
pembangunan politik, transformasi ekonomi dan redistribusi sosial, misalnya
dalam konteks pemeliharaan law and order, kesehatan dan pendidikan
publik, infrastruktur dasar, dan lain-lain, sesuai dengan tuntutan
masyarakat. Kedua, perlunya membangkitkan kapasitas negara lewat
penguatan institusi publik. Strategi ini mencakup desain peraturan yang
efektif, kontrol terhadap penggunaan sarana pemaksa, pemberantasan korupsi,
peningkatan kinerja institusi-institusi birokrasi negara, perbaikan gaji
pegawai, penguatan lembaga peradilan, profesionalisme aparat kemanan, dan
lain-lain. Ketiga, memadukan antara kapasitas negara,
desentralisasi dan partisipasi masyarakat.
Kapasitas negara, partisipasi masyarakat dan
desentralisasi merupakan tiga konsep kunci yang terkandung dalam semangat
“Membawa Negar Lebih Dekat ke Rakyat”. Kapasitas negara dan partisipasi punya
kaitan yang sangat erat, yang dirumuskan oleh WDR dalam kerangka penguatan
akuntabilitas, responsivitas dan tranparansi penyelenggaraan negara melalui
partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat tidak hanya terbatas pada
pemilihan umum, karena proses elektoral ini tidak sanggup menjangkau secara
periodik informasi tentang preferensi yang berkembang dalam masyarakat. Alternatifnya
adalah penggunaan wadah di luar pemilihan umum, yakni melalui organisasi
sukarela maupun NGO.
2. Dari
government ke governance
Memasuki dekade 1990-an terdapat perubahan istilah dan
semangat dari government kegovernance. Kelihatannya ini
hanya perubahan istilah, tetapi secara substantif mengandung perubahan
paradigmatik yang mempunyai implikasi empirik yang luar biasa. Governance
adalah istilah baru. Dulu ilmu politik hanya mengenal istilah government(pemerintah),
sebagai badan-badan yang menjalankan pemerintahan. Sebelum tahun 1990-an, ilmu
politik banyak mencurahkan perhatian pada beberapa persoalan, bagaimana
pemerintah dibentuk dan berubah, bagaimana pemerintah memerintah atas
rakyatnya, bagaimana menjalankan kewenangan sampai mengambil keputusan. Secara
empirik, pemerintah (lama) itu sangat identik dengan kekuasaan, penguasaan,
kewenangan, dominasi, pemaksaan, pemusatan, dll. Pemerintah dipahami sebagai
institusi raksasa yang menggunakan kewenangannya secara memaksa atas seluruh
wilayah dan penduduk , serta mengontrol pengaruh internasional atas kebijakan
domestik dan institusinya. Pemerintah adalah segala-galanya (omnipotent)
dan mahakuasa yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat.
Tetapi memasuki dekade 1990-an, sejumlah pandangan
baru terhadap pemerintah bermunculan, meskipun secara empirik pemerintah belum
berubah. Menyusul gerakan yang memotong peran negara (demokratisasi,
desentralisasi, debirokratisasi, deregulasi, reformasi birokrasi,
privatiasi, reinventing government, dll), pada tahun 1990-an para
ilmuwan politik mempertanyakan dan memikirkan kembali peran pemerintah. Dalam
konteks ini berkembanglah pemikiran baru ideal tentang apa itu pemerintah(an),
apa yang harus ia lakukan, peran pemerintah dalam masyarakat, pandangan baru pada
isu-isu abadi tentang bagaimana pemerintah yang terpilih dan bertanggungjawab
memainkan peran fasilitasi dalam masyarakat, dll.Munculnya istilah governance sekarang
mendorong para ilmuwan politik untuk tidak sekadar memperhatikan pemerintah
sebagai lembaga, melainkan juga pemerintahan sebagai proses multiarah, yaitu
proses memerintah yang melibatkan pemerintah dengan unsur-unsur di luar
pemerintah. Governance adalah bentuk interaksi antara negara
dan masyarakat sipil. Dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia tampaknya tidak
dijumpai sama sekali konsep governance. Kamus Webster juga tidak
membantu banyak, yang menyebutkan bahwa governance merupakan
sinonim dengangovernment (pemerintah), yang berarti tindakan atau
proses memerintah, terutama perintah dan kontrol pemegang kekusaan.
Interpretasi ini merujuk pada tindakan dan fungsi cabang-cabang eksekutif dan
sebuah pertanyaan: bagaimana pemerintahan bisa berjalan secara efektif? Governance tidak
sama dengan government (pemerintah) dalam arti sebagai
lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam
arti yang luas. Jon Pierre dan Guy Peters, misalnya, memahami governance sebagai
sebuah konsep yang berada dalam konteks hubungan antara sistem politik dengan
lingkungannya, dan mungkin melengkapi sebuah proyek yang membuat ilmu politik
mempunyai relevansi dengan kebijakan publik. Berpikir tentang governance,
demikian Jon Pierre dan Guy Peters, berarti berpikir tentang bagaimana
mengendalikan ekonomi dan masyarakat, serta bagaimana mencapai tujuan-tujuan
bersama. Sebuah perdebatan yang muncul adalah apakah pemerintahan merupakan
satu-satunya jalan untuk memutuskan tujuan-tujuan tersebut, atau masihkah
sebuah jalan yang efektif untuk memperbaiki cara-cara yang ditempuh pemerintah.
Posisi pemerintah yang lemah mau tidak mau memunculkan pertanyaan bagaimana
peran pemerintah dapat diperkuat kembali, serta model alternatif
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih cocok.
Perdebatan itu mulai hangat pada awal dekade 1990-an
ketika muncul perhatian global terhadap model baru pemerintahan, yang
menggambarkan ide-ide baru tentang apa, siapa, dan apa peran yang seharusnya
dilakukan oleh pemerintah di hadapan masyarakat; perspektif baru tentang proses
pemerintahan dalam melaksanakan program-programnya; serta pendekatan baru pada
isu abadi tentang bagaimana pemerintahan yang terpilih dan bertanggungjawab
melakukan peran koordinasi dalam masyarakat. Kenyatannya pemikiran tentang
pemerintah dan perannya dalam masyarakat kontemporer masih bersifat
tradisional. Sebagai contoh, sektor publik masih dipahami sebagai sektor yang
mandiri dari sektor swasta, dan pemerintah masih berpikir harus mempunyai
kapasitas melakukan kontrol secara mudah dan langsung terhadap sejumlah
aktivitas sektor swasta maupun masyarakat luas. Pada saat yang sama demokrasi
masih dimaknai dalam pengertian pemilihan umum dan voting, dimana pemerintah
beranggapan kuat bahwa dirinya mempunyai kebebasan ruang gerak untuk melakukan
aksi karena dia dihasilkan oleh pemilihan umum. Oleh karena itu penulis
berpendapat bahwa governance justru membatasi ruang gerak
pemerintah, dimana ruang gerak pemerintah dibatasi oleh mekanisme partisipatif
dari masyarakat.
Perspektif baru tentang pemerintah – perubahan peran
pemerintah dalam masyarakat dan kemampuannya mewujudkan kepentingan bersama di
bawah batasan internal maupun eksternal – merupakan jantung governance.
Intinya adalah melibatkan masyarakat dalam proses pemerintahan. Tetapi governance masih
merupakan istilah yang membingungkan. Ia menjadi konsep payung bagi sejumlah
fenomena yang beragam seperti jaringan kerja kebijakan, management publik,
koordinasi sektor-sektor ekonomi kemitaraan sektor publik dan swasta,
pemerintahan wirausaha, dan good governance sebagai tujuan
reformasi
3. Dari
politik tradisional ke politik transformatif
Paralel dengan semangat membawa negara lebih dekat ke
rakyat dan perubahan paradigma dari government ke governance,
muncullah gerakan yang hendak merubah pandangan politik tradisional ke “politik
transformatif”. Term “politik transformatif” sebagai sebuah pandangan baru
memang tidak populer dalam belantara ilmu politik. Sejumlah literatur mainstream ilmu
politik (seperti The New Handbook of Political Science; Political
Science: The State of the Discipline; Handbook of Governance and Politics;
Encyclopaedia of Democracy, dll) tidak menampilkan secara eksplisit konsep
“politik transformatif”, bahkan termasuk political empowerment.
Istilah “politik transformatif” baru berada dalam literatur “pinggiran” ilmu
politik, tetapi ia menjadi pandangan baru yang digerakkan melalui aksi-aksi
konkret oleh kalangan aktivis politik, kaum feminis, dan NGO.
Gerakan politik transformatif berawal dari kritik yang
keras terhadap politik tradisional. Paradigma politik kuno ini menempatkan
kekuasaan sebagai isu sentral, sebagai sumber dominasi penguasa (termasuk
pemerintah dan elite) terhadap yang dikuasai. Kekuasaan itu diformalkan
(dilembagakan) ke dalam birokrasi yang hirarkhis dan sentralistik, sehingga
sulit disentuh oleh rakyat. Sebaliknya, menurut seorang profesor ilmu politik
dan aktivis perempuan, Rounaq Jahan (2000), politik transformatif disandarkan
pada nilai-nilai kekuasaan sebagai pembebasan (bukan dominasi), solusi menang-menang,
perdamaian, pelayanan dan keragaman. Politik atau kekuasaan harus dikelola
secara partisipatif, transparan, bersih, inklusif dan memberdayakan. Institusi
pengelola kekuasaan, demikian Jahan (2000), harus bersifat egaliter,
bertanggungjawab dan responsif
Konseptualisasi politik transformatif yang dirumuskan
Jahan (2000) tidak terlalu rumit untuk dicerna, seperti konsep pembangunan
politik. Isu-isu yang terkandung dalam politik transformatif juga tidak terlalu
baru, artinya semua itu sudah lama masuk dalam khazanah ilmu politik dan
menjadi bahan wacana dalam everyday life politics. Karena
dirumuskan oleh aktivis feminis, maka politik transformatif tidak lagi untuk
diucapkan tetapi untuk dilakukan melalui aksi yang konkret. Masih menurut Jahan
(2000), setidaknya ada empat strategi simultan yang bisa ditempuh untuk
mencapai politik transformatif: Pertama, menstransformasikan agenda
politik melalui riset, publikasi, diseminasi, lobby, legal drafting, dll;
Kedua, membangun konstituen yang seluas-luasnya; Ketiga, memperkuat
gerakan antara lain dengan membangun networking yang luas dan
terorganisir; dan Keempat,affirmative action untuk
melibatkan sebanyak mungkin kelas bawah maupun perempuan.
Ubaydilla
SEMOGA
BERMAMFAAT......................................................
Perdebatan pembangunan dalam pagar teori modernisasi melibatkan para sarjana dari berbagai kalangan, baik ekonom, sosiolog, psikolog dan ilmuwan politik. Para ekonom seperti Rostow, Micahel Todaro, Arthur Lewis, Hollis Chenery, Everett Hagen dan sebagainya umumnya berbicara – dengan cara pandangnya masing-masing - tentang implikasi pengalaman industrialisasi di Barat pada pembangunan di wilayah Dunia Ketiga, serta membicarakan strategi dan perencanaan pembangunan, perdagangan internasional, transfer teknologi, investasi, yang kesemuanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara Dunia Ketiga. Kehadiran para ekonom dalam tradisi modernisasi itu yang kemudian mendeklarasikan model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan.
Paradigma yang terfokus pada persoalan bagaimana menjamin atau meningkatkan perbaikan taraf hidup rakyat secara terus menerus, yang tercermin dari kenaikan pendapatan nasional atau pendapatan per kapita (GNP) secara kumulatif. Terlebih lagi ketika PBB menetapkan tahun 1960-1970 sebagai Dekade Pembangunan I, yang memandang "pembangunan" dalam arti pencapaian pertumbuhan GNP sebesar 6 persen per tahun.
0 Comments: